Langsung ke konten utama

Tulisan Rei — The Last Letter

 


"Iksha, kita berpisah di sini."


Langkah Izuku berhenti di depan sebuah rumah tingkat tiga berwarna cokelat. Aku tersenyum tipis, menganggukkan kepala pelan. "Benar, terima kasih, Izuku. Kau dan teman-teman, juga Para Penjaga datang di waktu yang tepat. Jika tidak, mungkin ramalan Adwitiya itu tidak akan selesai, mengingat penunggu sumber sihir Awidya mempunyai ukuran sebesar itu." Aku menjabat tangannya lembut. Izuku membalas senyumanku, tapi kemudian, ia mendekapku, membisikkan kata-kata penenang di telingaku.


"Tidak apa-apa, Iksha. Aku tahu, kau itu kuat. Kau yang ikhlas, ya? Jika butuh apa-apa, tolong jangan sungkan mengatakannya padaku. Atau Katsuki, Ochaco, bahkan Best Jeanist. Jangan dipendam semua sendirian."


Mataku berkaca-kaca, namun, aku menepuk punggungnya pelan. "Aku akan baik-baik saja. Tolong jangan khawatirkan aku. Kau punya kegiatan yang lebih penting dari pada khawatir pada gadis malam ini, Izuku. Lagi pula, aku sudah..., ikhlas." Aku memelankan kata terakhir, ragu memenuhi relung hatiku. Aku? Baik-baik saja? Ikhlas?


Apa aku benar-benar berniat mengatakannya? Atau, aku hanya berniat membuat rasa khawatir Izuku pergi semata?


Ah, jangkrik.


"Aku pergi dulu, Izuku. Sampai jumpa, dan terima kasih."


Aku melepaskan pelukannya sebelum membalikkan badan. Senyumku luntur, kepalaku sedikit menunduk. Tas selempang milik Mentor Shinya aku genggam erat-erat. Sial, kenapa pula aku membawa tas beliau? Sekarang, aku menyesalinya. Tas ini terlalu berat, tapi ini bukan masalah. Tas ini terlalu mengingatkanku dengan Mentor.


Kota sepertinya sedang bersuka ria menyambut Para Penjaga yang datang. Balai kota saat ini ramai sekali, banyak lampu-lampu gantung beraneka warna di setiap sudutnya, anak-anak bermain kembang api, para remaja yang berdansa, serta musik yang dinyalakan cukup keras. Setidaknya, cukup terdengar dari rumah. Aku terkekeh pedih, mungkin, mungkin, jika aku sedikit lebih kuat, mungkin aku bisa ikut merayakan kemenangan ini. Kemenangan yang diraih dengan kedua tanganku, menutup ramalan keluarga setelah ratusan juta tahun terlanggar.


"Aku pulang."


Kalimat itu secara spontan keluar dari mulutku. Aku terdiam di ambang pintu, menatap keadaan rumah kosong melompong yang gelap gulita. Rasa sesak memenuhi dadaku. Aku meremas gagang pintu erat sebelum menutup pintu. Aku melepas sepatu boots kulit dan meletakkannya di rak sepatu. Aku berdiri, menyalakan lampu. Ah, memang sunyi. Sulit dipercaya kalau mulai sekarang aku harus tinggal di rumah bertingkat dua ini sendirian.


Aku meletakkan tasku dan tas Mentor di atas sofa sebelum berjalan menuju tangga. Tepat di depan pintu kamar Mentor yang terbuat dari kayu jati, aku menghentikan langkahku. Jangan masuk ke sana, aku memperingatkan sebagian dari diriku yang lain. Tapi, sialnya, tubuhku tak ingin diajak kompromi. Aku justru memutar kenop pintu itu, menampilkan sebuah kamar minimalis milik Mentor. Dadaku berdenyut semakin kencang, badanku mulai bergetar.


"Ini tidak adil."


Isakan keluar dari bibirku.


"Bau kamar ini bahkan seperti bau parfum Mentor Shinya."


Aku jatuh terduduk di atas lantai, isakan berubah menjadi tangisan. Tidak bisa, ini tidak adil. Beliau tidak harusnya mati di sana. Beliau tidak harusnya mati di sana. Ini tidak adil. Beliau orang baik, beliau bahkan tidak pernah membunuh siapapun. Kenapa bukan aku saja yang mati? Kenapa? Kenapa? Kenapa?


Aku menarik napas panjang sebelum berdiri. Aku membuka lemari pakaian Mentor. Harum parfum yang biasa beliau gunakan tercium semakin semerbak. Aku meraih salah satu pakaian yang biasa Mentor gunakan untuk pergi misi sebelum memeluknya erat. Aku tersenyum sendu sembari menenggelamkan wajahku di pakaian itu. Kehilangan orang tersayang ternyata memang semenyakitkan ini, ya?


Mataku terarah menuju meja kerja Mentor. Masih dengan pakaian Mentor di tanganku, aku menarik rak meja itu. Mataku terbelalak ketika melihat sebuah kotak kayu berwarna cokelat. Di tutup kotak itu, tertulis jelas dengan tinta berwarna hitam pekat, nama lengkapku. Aku meletakkan pakaian Mentor di atas meja sebelum meraihnya. Ya Tuhan, berat sekali. Mentor memang suka barang yang berat-berat, ya?


Setelah kotak itu terangkat, lagi-lagi mataku terbelalak. Isi rak itu penuh dengan berbagai foto. Dan, aku menyadari sesuatu.


Semua foto itu, selalu ada aku di dalamnya.


"Mentor..., Mentor benar-benar menyayangiku, ya?" Aku berbisik, lagi-lagi tersenyum sendu, berlagak kuat. Aku selalu berbisik, berbicara pada diri sendiri, mungkin, sedikit berharap Mentor akan mendengar, lalu membalasku entah dari mana.


Aku beralih pada kotak di dalam kedua lenganku. "Untuk Iksha Gayatri Adwitiya." Aku membaca tulisan itu sebelum membukanya. Sekali lagi, mataku terbelalak lebar saat melihat isinya. Astaga, tidak mungkin. Ini keris yang pernah aku dambakan ketika melewati toko senjata dua bulan yang lalu. Aku memang tidak berani untuk minta ke Mentor, jadi aku menabung uang hasil menjual tanaman sihir. Mentor tahu kalau aku selalu menginginkan ini?


Lalu, surat. Sebuah surat, dengan amplop berwarna putih susu. Aku membukanya perlahan, sebuah surat, kertasnya berasal dari sebuah sobekan buku catatan. Begitu sederhana, ia bahkan tak perlu menambahkan manik-manik. Tipikal Mentor Shinya sekali.



Untuk Putriku, Iksha.


Selamat ulang tahun. Aku tahu, kau selalu menginginkan keris ini, jadi aku membelinya secara diam-diam. Apakah kau suka? Saat kau mendapatkan keris ini, mungkin, aku sudah tidak ada lagi di dunia ini. Aku benci mengatakannya padamu, jadi, aku menyembunyikannya. Dokter mengatakan, hidupku tak lebih dari setahun. Misi terakhir yang aku terima ternyata berimbas besar pada paru-paruku. Maaf, kau pasti kecewa, 'kan? Hahaha, aku memang bodoh.


Iksha, tolong ketahuilah, dunia tak akan selalu berpihak padamu. Dunia tak akan selalu berjalan sesuai kemauanmu. Aku khawatir, ketika aku pergi, kau masih belum sanggup menghadapi dunia ini sendirian. Aku takut, kau akan jatuh dalam keterpurukan terlalu dalam. Tapi, setelah aku melihatmu lagi, aku rasa, aku tak perlu begitu khawatir. Karena, kau pasti akan baik-baik saja. Putri dari keluarga Adwitiya— bukan, tapi putri dari seorang Kamihara Shinya, pasti akan baik-baik saja. Aku percaya itu.


Iksha, tolong jangan menangisi kepergianku. Tolong, jangan jatuh dalam keterpurukan begitu lama. Jangan memaksakan diri untuk menjual tanaman sihirmu. Jangan sampai sakit, jangan tidak bahagia. Kumohon, bahagialah. Tumbuhlah dengan sehat, miliki banyak teman.


Aku punya banyak, banyak sekali, hal yang ingin aku ajarkan padamu. aku punya banyak hal yang ingin kusampaikan. Tentang aku yang begitu menyayangimu seperti putriku sendiri, tentang bagaimana aku merasa bahwa kau tumbuh terlalu cepat, tentang rasa khawatirku tentang asmara anak muda yang akan terjadi padamu dalam waktu dekat. Banyak, banyak, banyak hal yang belum aku sampaikan. Maafkan aku, Iksha. Aku harap, kau memaafkanku.


Terakhir, terima kasih. Terima kasih sudah membuatku menjadi pria paling bahagia di dunia. Terima kasih sudah terlahir di dunia ini. Terima kasih karena sudah tumbuh dengan sehat. Terima kasih sudah menjadi anak yang baik, lemah lembut, peduli dengan sesama. Terima kasih karena sudah menjadi anak yang mandiri. Terima kasih, terima kasih, terima kasih.


Terima kasih karena sudah menjadi putriku.


I love you. I always love you.


Salam, Kamihara Shinya — Edgeshot



"Kenapa Mentor selalu meminta maaf?"


Aku kembali jatuh terduduk di atas lantai. Lalu,


tangisku pecah.


"Padahal Mentor tidak salah apa-apa."


Tangisku semakin kencang, lebih dan lebih.


"Mentor, aku merindukan Mentor."


Aku mengucapkan kalimat itu dengan lirih. Mentor, aku akan menuruti semua yang Mentor tulis di dalam surat ini. Tapi, maafkan aku, setidaknya, kumohon,


biarkan aku hancur untuk malam ini saja.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Scratch Jr - Tutorial

 Hola, hola, hola! Selamat pagi, siang, sore, malam, para pembaca! Baik Bapak-Ibu, Kakak-Adik, Mas-Mbak yang sudah mau membaca secuil artikel ini! Sebelum kita mulai, izinkan aku memperkenalkan diriku. Hai, aku Nafira Reeisya Andini, dari kelas 9D, nomor absen 22. Guru-guruku senang memanggilku Nafira, teman-teman sekolah memanggiku Andin, dan teman mutualku selalu memanggilku Rei. Hari ini, aku ingin memberikan kalian dua tutorial tentang menggunakan aplikasi Scratch Jr. Tahu, 'kan? Aplikasi coding anak-anak (ini sebenarnya bikin stress, by the way) yang iconnya gambar kucing oren itu. Tentunya, tutorial yang aku berikan adalah cara membuat animasi dan juga game. Note: Dimohon, sebelum mencoba, harap menonton/membaca tutorial manapun hingga akhir sebelum menyesal ketika struggle dengan masalah coding-nya Scratch selama satu setengah jam #pengalamanpribadi. Hal-hal yang harus kalian miliki ketika ingin membuat animasi/game: - Konsep cerita atau konsep game - Kreativitas tak terbata...